Selasa, 10 April 2012

SEJARAH PERADABAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada awal mula Nabi Muhammad mendapatkan wahyu dari Allah swt, yang isinya menyeru manusia untuk beribah kepada-Nya, mendapat tantangan yang besar dari berbagai kalangan kaum Quraisy. Hal ini terjadi karena pada masa itu kaum Quraisy mempunyai sesembahan lain yaitu berhala-berhala yang dibuat oleh mereka sendiri. Karena keadaan yang demikian itulah, dakwah pertama yang dilakukan di Makkah dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, terlebih karena jumlah orang yang masuk Islam sangat sedikit. Keadaan ini berubah ketika jumlah orang yang memeluk Islam semakin hari semakin banyak, Allah pun memerintahkan Nabi-Nya untuk melakukan dakwah secara terang-terangan.
Bertambahnya penganut agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad, membuat kemapanan spiritual yang sudah lama mengakar di kaum Quraisy menjadi terancam. Karena hal inilah mereka berusaha dengan semaksimal mungkin mengganggu dan menghentikan dakwah tersebut. Dengan cara diplomasi dan kekerasan mereka lakukan. Merasa terancam, Allah pun memerintahkan Nabi Muhammad untuk berhijrah ke kota Madinah. Di sini lah babak baru kemajuan Islam dimulai.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana keadaan dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika fase Makkah?
2.      Bagaimana pembentukan sistem sosial kemasyarakatan, militer, politik, dakwah, ekonomi, dan sumber pendapatan negara ketika fase Madinah?      
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui keadaan dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika fase Makkah
2.      Untuk mengetahui pembentukan sistem sosial kemasyarakatan, militer, politik, dakwah, ekonomi, dan sumber pendapatan negara ketika fase Madinah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Singkat Nabi Muhammad Saw.
Nabi Muhammad Saw. Adalah anggota Bani Hasyim, suatu kabilah yang kurang berkuasa dalam suku quraisy. Kabilah ini memegang jabatan siqayah. Nabi Muhammad lahir dari keluarga terhormat yang relatif miskin. Ayahnya bernama Abdullah anak Abdul Muthallib, seorang kepala suku quraisy yang besar pengarunhya. Ibunya adalah Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Tahun kelahiran Nabi dikenal dengan nama tahun gajah (570 M). Dinamakah demikian karena pada tahun itu pasukan Abrahah, gubernur kerajaan Habsyi (Etiopia), dengan menunggang gajah menyerbu Makkah untuk menghancurkan Ka’bah (Yatim. 2008: 16).  
B.     Masa Kerasulan
Menjelang usianya yang keempat puluh, dia sudah terlalu biasa memisahkan diri dari kegalauan masyarakat, berkontlampasi ke gua Hira, beberapa kilometer di Utara Makkah. Disana mula-mula berjam-jam kemudian berhari-hari bertafakkur. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M, Malaikat Jibril Muncul dihadapannya, menyampaikan wahyu Allah yang pertama: Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu itu Maha Mulia. Dia telah mengajar dengan Qalam. (QS. 96: 1-5). Dengan turunya wahyu pertama itu, berarti Muhammad telah dipilih Tuhan sebagai Nabi. Dalam wahyu pertama ini, dia belum diperintahkan untuk menyeri manusia kepada suatu agama.
Setelah wahyu pertama itu datang, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama, sementara Nabi Muhammad menantikannya dan selalu datang ke gua Hira’. Dalam keadaan menanti itulah turun wahyu yag membawa perintah kepadanya. Wahyu itu berbunyi sebagai berikut: “Hai orang-orang yang berselimut, bangun, dan beri ingatlah. Hendaklah engkau besarkan Tuhanmu dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa, dan janganlah engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah (Al Mudatssir: 1-7).
1.      Fase Makkah
Dengan turunnya surat Al Mudatssir ayat 1-7 mulailah Rasulullah berdakwah. Pertama-tama, beliau melakukannya secara diam-diam di lingkungan sendiri dan di kalangan rekan-rekannya. Karena itulah, orang yang pertama kali menerima dakwahnya adalah keluarga dan sahabat  dekatnya. Mula-mula istrinya sendiri, Khadijah, kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi Thalib yang baru berumur sepuluh tahun. Kemudian, Abu Bakar, sahabat karibnya sejak kanak-kanak. Lalu Zaid, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya. Ummu Aiman, pengasuh Nabi sejak ibunya Aminah masih hidup, juga termasuk orang yang pertama masuk Islam. Sebagai seorang pedagang yang berpengaruh, Abu Bakar berhasil mengislamkan beberapa teman dekatnya, seperti Usman bin Affan, Zubair bin Awam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah. Mereka dibawa Abu Bakar langsung kepada Nabi dan masuk Islam dihadapan Nabi sendiri. Dengan dakwah secara diam-diam ini, belasan orang telah memeluk agama Islam.
Setelah beberapa lama dakwah tersebut dilaksanakan secara individual turunlah perintah agar nabi menjalankan dakwah secara terbuka. Mula-mula ia mengundang dan menyeru kerabat karibnya dari Bani Abdul Muthalib. Ia mengatakan kepada mereka, “Saya tidak melihat seorang pun di kalangan Arab yang dapat membawa sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari apa yang saya bawa kepada kalian. Tuhan memerintahkan saya mengajak kalian semua. Siapakah diantara kalian yang mau mendukung saya dalam hal ini?”. Mereka semua menolak kecuali Ali.
Langkah dakwah seterusnya yag diambil Muhammad adalah menyeru masyarakat umum. Nabi mulai menyeru segenap masyarakat kepada Islam dengan terang-terangan, baik golongan bangsawan maupun hamba sahaya. Mula-mula Ia menyeru penduduk Makkah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Disamping itu, ia juga menyeru orang-orang yang datang ke Makkah, dari berbagai negeri untuk mengerjakan haji. Kegiatan dakwah dijalankan tanpa mengenal lelah. Dengan usahanya yang gigih, hasil yang diharapkan mulai terlihat. Jumlah pengikut Nabi yang tadinya hanya belasan orang, makin hari makin bertambah. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja dan orang-orang yang tak punya. Meskipun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang lemah, namun semangat mereka sungguh membaja.
Setelah dakwah terang-terangan itu, pemimpin quraisy muali berusaha menghalangi dakwah Rasul. Semakin bertambahnya pengikut Nabi, semakin keras tantangan dilancarkan kaum Quraisy. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang mendorong orang Quraisy menentang seruan Islam itu.
1.      Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthallib. Yang terakhir ini sangat tidak mereka inginkan.
2.      Nabi Muhammad menyerukan persamaan antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini tidak disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy.
3.      Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
4.      Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa Arab.
5.      Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.
Banyak cara yang ditempuh para pemimpin Quraisy untuk mencegah dakwah Nabi Muhammad. Pertama-tama mereka mengira bahwa, kekuatan Nabi terletak pada perlindungan dan pembelaan Abu Thalib yang amat disegani itu karena itu mereka menyusun siasat bagaimana melepas hubungan Nabi dengan Abu Thalib dan mengancam dengan mengatakan: “Kami minta anda memilih satu di antara dua: memerintahkan Muhammad berhenti dari dakwahnya atau anda menyerahkannya kepada kami. Dengan demikian, anda akan terhindar dari kesulitan yang tidak diinginkan.” Tampaknya, Abu Thalib cukup terpengaruh dengan ancaman tersebut, sehingga ia mengharapkan Muhammad menghentikan dakwahnya. Namun, Nabi menolak dengan mengatakan: ”Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara akan mengucilkan saya”. Abu Thalib sangat terharu mendengar jawaban kemenakannya itu kemudian berkata: “Teruskanlah demi Allah aku akan terus membelamu”.
Merasa gagal dengan cara ini kaum Quraisy kemudian mengutus Walid ibn Mughirah dengan membawa Umarah ibn Walid, seseorang pemuda yang gagah dan tampan untuk dipertukarkan dengan Nabi Muhammad. Walib ibn Mughirah berkata kepada Abu Thalib: “Ambillah dia menjadi anak saudara tetapi serahkan Muhammad kepada kami untuk kami bunuh”. Usul ini langsung ditolak keras oleh Abu Thalib.
Untuk kali berikutnya, mereka langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka mengutus Utbah ibn Rabiah, seorang ahli retorika, untuk membujuk Nabi. Mereka menawarkan tahta, wanita, dan harta asal Nabi Muhammad bersedia menghentikan dakwahnya. Semua tawaran itu ditolak Muhammad dengan mengatakan: “Demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan berhenti melakukan ini, hingga agama ini menang atau aku binasa karenanya.”
Dengan cara bujukan tidak bisa, orang Quraisy menggunakan cara kekerasan dengan cara menganiaya orang muslim yang lemah terutama dari kalangan hamba sahaya seperti Bilal bin Rabbah. Para pemimpin Quraisy juga mengharuskan setiap keluarga untuk menyiksa anggota keluarganya yang masuk Islam sampai dia murtad kembali. Inilah cara-cara kekerasan yang dilakukan demi menghalang dakwah Nabi.
Menguatnya posisi umat Islam memperkeras reaksi kaum Musyrik Quraisy mereka menempuh cara baru dengan melumpuhkan kekuatan Muhammad yang bersandar pada perlindugan Bani Hasyim. Dengan demikian, untuk melumpuhkan kaum muslimin yang dipimpin oleh Muhammad mereka harus melumpuhkan Bani Hasyim terlebih dahulu secara keseluruhan. Cara yang ditempuh ialah pemboikotan.mereka memutuskan segala bentuk hubungan dengan suku ini. Tidak seorang penduduk Makkah pun diperkenakan hubungan jual beli dengan Bani Hasyim. Persetujuan dibuat dalam bentuk piagam dan ditanda tangani bersama dan disimpan didalam Ka’bah. Akibat boikot tersebut, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan yang tak ada bandingannya. Untuk meringankan penderitaan itu, Bani Hasyim akhirnya pindah kesuatu lembah diluar kota Makkah. Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian ini berlangsung selama 3 tahun. Ini merupakan tindakan paling menyiksa dan melemahkan umat Islam.
Pemboikotan ini baru berhenti setelah beberapa pemimpin Quraisy menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sungguh suatu tindakan yang keterlaluan. Setelah boikot dihentikan, Bani Hasyim seakan dapat bernafas kembali dan pulang kerumah masing-masing.
2.      Fase Madinah
a.      Pembentukan Sistem Sosial Kemasyarakatan
Setelah tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), nabi resmi menjadi pemimpin penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai. Berbeda dengan periode Makkah, pada periode Madinah, Islam, merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebaga rasul secara otomatis merupakan kepala negara.
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu, ia segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Dasar pertama, pembangunan masjid, selain untuk tempat salat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum Muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di samping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Masjid pada masa nabi bahkan juga berfungsi sebagai pusat pemirintahan.
Dasar kedua, adalah ukhuwah islamiyyah, persaudaraan sesama Muslim. Nabi mempersaudarakan antara golongan Muhajirin, orang-orang yang hijrah dari Makkah ke Madinah , dan Anshar, penduduk madinah yang sudah masuk Islam dan ikut membantu kaum Muhajirin tersebut. Dengan demikian diharapkan, diharapkan, setiap Muslim merasa terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Apa yang dilakukan Rasulullah ini berarti menciptakan suatu bentuk persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.
Dasar ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, disamping orang-orang Arab Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dikeluarkan. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar. Dalam perjanjian itu jelas disebutkan bahwa Rasulullah menjadi kepala pemerintahan karena sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada beliau. Dalam bidang sosial, dia juga meletakkan dasar persamaan antar sesama manusia. Perjanjian ini, dalam pandangan ketatanegaraan sekarang sering disebut dengan Konstitusi Madinah. 
b.      Bidang Militer
Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam makin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Makkah dan musuh-musuh Islam lainnya menjadi risau. Kerisauan ini akan mendorong orang-orang Quraisy berbuat apa saja. Untuk mengahadapi kemungkinan-kemungkinan gangguan dari musuh, nabi, sebagai kepala pemirintahan, mengatur siasat dan membentuk pasukan tentara. Umat Islam diizinkan berperang dengan dua alasan: 
1.      Untuk mempertahankan diri dan melindungi hak miliknya.
2.      Menjaga keselamatan dalam menyebarkan kepercayaan dan mempertahankannya dari orang-orang yang menghalanginya.
Dalam sejarah negara Madinah ini memang banyak terjadi peperangan sebagai upaya kaum Muslimin mempertahankan diri dari serangan musuh. Nabi sendiri, diawal pemerintahannya, mengadakan beberapa ekspedisi keluar kota sebagai aksi siaga melatih kemampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara yang baru dibentuk. Perjanjian damai dengan berbagai kabilah disekitar Madinah juga diadakan denga maksud memperkuat kedudukan Madinah.
Peperangan-peperangan yang terjadi pada masa Nabi Muhammad:
1.      Perang Badar, perang antara kaum Muslimin dengan kaum Quraisy yang terjadi pada tanggal 8 Ramadhan tahun ke-2 Hijriah. Nabi  bersama 305 orang Muslim melawan pasukan Quraisy yang berjumlah sekitar 900-1000 orang.
2.      Perang dengan suku Yahudi Madinah, dan Qainuqa yang berkomplot dengan orang-orang Makkah orang-orang Yahudi ini akhirnya memilih meninggalkan Madinah dan pergi menuju Adhri’at di perbatasan Syiria.
3.      Perang Uhud, yamg terjadi pada tahu ke-3 Hijriah pasukan Quraisy Makkah membawa tidak kurang dari 3000 pasukan berkendaraan unta, 200 pasukan berkuda dibawah pemimpinan Khalid bin Walid, 700 orang diantara mereka memakai baju besi melawan sekitar 1000 orang Muslim.
4.      Perang Ahzab atau Perang Khandag (parit), yang terjadi pada tahun  ke-5 Hijriah.

c.       Bidang Politik
            Hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah menuju ke Madinah merupakan babak baru dalam rangka menyeru manusia kepada ajaran Islam. Di Madinah di samping orang-orang Arab Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka (Yatim. 2004: 26). Setelah tiba di Madinah, Nabi langsung menjalin hubungan kerjasama dan perdamaian dengan pihak Yahudi yang bermukim di Madinah, yaitu Bani Nadhir dan Bani Quraidhah. Hal ini dilakukan untuk menjaga stabilitas keamanan di Madinah. Maka untuk merealisasikan rencana ini, diadakanlah suatu perjanjian di antara kaum muslimin dan kaum Yahudi yang isinya,
1.      Melindung kebebasan beragama untuk masing-masing pihak;
2.      Kedua golongan saling membantu dengan materi sewaktu diperlukan;
3.      Menjaga keamanan kota Madinah apabila mendapat serangan dari luar. 
Perjanjian inilah yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Madinah yang menjadi dasar toleransi kerukunan umat beragama, Islam dan Yahudi, meskipun nantinya kaum Yahudi mengingkari isi perjanjian tersebut. Dari piagam Madinah ini kita bisa mengambil pelajaran bahwasanya, penting sekali terwujudnya toleransi keberagamaan untuk menjaga stabilitas bangsa dan negara asalkan tidak mengusik akidah masing-masing.
Selain mengadakan perjanjian dengan pihak Yahudi, Nabi Muhammad juga mengadakan hubungan diplomatik dengan suku-suku lain sebagai indikasi adanya hubungan politik pada masa itu tepatnya setelah penaklukan kota Makkah dan peperangan Tabuk, seperti yang ditulis oleh Ibnu Ishaq:
Sesudah kota Makkah ditaklukkan, peperangan Tabuk telah selesai dan Tsaqif pun telah masuk Islam dan telah mengucapkan sumpah setia kepada nabi, maka berdatanganlah delegasi bangsa Arab dari segenap penjuru menghadap Nabi. Oleh karena itu tahun sembilah hijriyah disebut “Amul Wufud” (tahun delegasi).   
Para pembahas sejarah yang memperhatikan akan melihat suatu hal yang amat mengherankan, yaitu: orang yang tadinya harus mendatang kabilah-kabilah Arab, untuk mengharapkan dukungan mereka dalam menyiarkan agama Islam, dalam masa sepuluh tahun saja, sudah dapat duduk bersila di rumahnya, untuk menyambut dan menerima kedatangan delegas0delegasi yang berdatangan dari segenap penjuru… Agama Islam yang tadinya hanya tersiar pada tempat-tempat terbatas, dan pemeluknya hanya bebrapa orang saja, sekarang telah menjadi agama yang dianut penduduk seluruh jazirah Arab (Syalabi. 1997: 216).
d.      Bidang Dakwah
Setelah keadaan politik dianggap stabil, pertempuaran demi pertempuran telah diselesaikan, dan kota Makkah sudah dikuasai oleh umat Islam, maka pada tahun ke-10 H Nabi Muhammad mengutus beberapa sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Muadz bin Jabal, dan Abu Musa Al Asy’ari untuk berdakwah ke beberapa wilayah di antaranya Yaman, Mesir, Syiria, dan lainnya supaya ajaran Islam membumi di wilayah-wilayah tersebut. Misalnya Ali bin Abi Thalib diutus ke kabilah Mizhaj di Yaman. Sebelum ke Yaman, Nabi pun berpesan kepada Ali, “Pergilah sampai kamu tiba di wilayah tersebut (Yaman), ajaklah penduduknya untuk mengucapkan La illaha illallah, jika mereka mengatakan, “ya”, maka perintahkanlah mereka untuk mengerjakan shalat, jangan dibebani yang lainnya. Dan janganlah kamu memerangi mereka sampai mereka memerangimu.
Setelah Ali sampai ke wilayah Yaman tersebut, maka dia pun menyeru mereka untuk masuk Islam, tetapi mereka menolak dan melempari kaum muslimin dengan kotoran unta. Setelah diperlakukan seperti itu, Ali tidak langsung memerangi tetapi menemui mereka kembali dan mengajak supaya masuk Islam. Akhirnya mereka pun mau masuk Islam dan berkata, “Kami tergantung orang yang dibelakang kami (kaum Kami) dan ini sedekah kami, ambillah darinya hak Allah”. Ali pun mengambilnya dan kembali kepada Rasulullah dan bertemu di Makkah ketika haji wada’ (Abdul Jabar. Tt: 83).
e.       Sistem Ekonomi
Seperti di Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi. Oleh karena itu, peletakan dasar-dasar sistem keuangan negara yang di lakukan oleh Rasulallah Saw. merupakan langkah yang sangat signifikan, sekaligus berlian dan spektakuler pada masa itu, sehingga Islam sebagai sebuah agama dan negara dapat berkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Sistem ekonomi yag di terapkan oleh Rasulallah Saw.berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani. Al Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam aktivitas di setiap aspek kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi.
Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasan tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi,
Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan menjadi kehidupan ruhiyah dan jasmaniyah, melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan, bahkan setelah kehidupan dunia ini. Dengan kata lain,
Islam tidak mengenal kehidupan yang hanya memikirkan materi duniawi tanpa memikirkan kehidupan akhirat.
f.       Sumber Pendapatan Negara
1.      Uang tebusan untuk para tawanan perang (hanya khusus pada perang Badar, pada perang lain tidak disebutkan jumlah uang tebusan tawanan perang).
2.      Pinjaman-pinjaman (setelah penaklukan kota Mekkah) untuk pembayaran uang pembebasan kaum muslimin dari Judhayma/ sebelum pertemuan Hawazin 30.000 dirham (20.000 dirham menurut Bukhari) dari Abdullah bin Rabia dan pinjaman beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sufyan bin Umaiyah (sampai waktu itu tidak ada perubahan).
3.      Khums atas rikaz harta karun temuan pada periode sebelum islam.
4.      Amwal fadillah yaitu harta yang berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negrinya.
5.      Wakaf yaitu harta benda yang didedikasikan oleh seorang muslim untuk kepentingan agama Allah dan pendapatnya akan disimpan di Baitul mal.
6.      Nawaib yaitu pajak khusus yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat.
7.      Zakat Fitrah
8.      Bentuk lain sedekah seperti hewan qurban dan kifarat. Kifarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan oleh seorang muslim pada saat melakukan ibadah.
9.      Ushr
10.  Jizyah yaitu pajak yang dibebankan kepada orang non muslim.
11.  Kharaj yaitu pajak tanah yang dipungut dari kaum non muslim ketika wilayah khaibar ditaklukan.
12.  Ghanimah yaitu harta rampasan perang.
13.   Fa’i

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya masa nabi Muhammad SAW terbagi menjadi dua fase (periode) yaitu fase Makkah dan Madinah. Pada fase Makkah lebih ditekankan hanya pada bidang dakwah, karena ini adalah masa-masa awal kelahiran agama Islam. Dakwah yang dilakukan oleh Nabi pada fase ini terbagi menjadi dua yaitu secara sembunyi-sembunyi dan secara terang-terangan.
             Pada fase Madinah ada beberapa bidang yang dikembangkan sebagai wujud dari upaya Nabi untuk membentuk negara Islam di antaranya yaitu pembentukan sistem sosial kemasyarakatan, militer, politik, dakwah, ekonomi, dan sumber pendapatan negara. Pada fase ini Islam menjadi agama yang dipeluk oleh seluruh jazirah Arab, sebagai tanda keberhasilan dakwah Nabi Muhammad.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Jabar, Umar. Khulasah Nur Al Yaqin. Surabaya: Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Awladuh. Tt.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2008
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Jakarta: Al Husna Zikra. 1997.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004.