BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada awal mula Nabi Muhammad mendapatkan wahyu dari Allah swt, yang
isinya menyeru manusia untuk beribah kepada-Nya, mendapat tantangan yang besar
dari berbagai kalangan kaum Quraisy. Hal ini terjadi karena pada masa itu kaum
Quraisy mempunyai sesembahan lain yaitu berhala-berhala yang dibuat oleh mereka
sendiri. Karena keadaan yang demikian itulah, dakwah pertama yang dilakukan di
Makkah dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, terlebih karena jumlah orang yang
masuk Islam sangat sedikit. Keadaan ini berubah ketika jumlah orang yang
memeluk Islam semakin hari semakin banyak, Allah pun memerintahkan Nabi-Nya
untuk melakukan dakwah secara terang-terangan.
Bertambahnya penganut agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad,
membuat kemapanan spiritual yang sudah lama mengakar di kaum Quraisy menjadi
terancam. Karena hal inilah mereka berusaha dengan semaksimal mungkin
mengganggu dan menghentikan dakwah tersebut. Dengan cara diplomasi dan
kekerasan mereka lakukan. Merasa terancam, Allah pun memerintahkan Nabi
Muhammad untuk berhijrah ke kota Madinah. Di sini lah babak baru kemajuan Islam
dimulai.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
keadaan dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika fase Makkah?
2.
Bagaimana
pembentukan sistem sosial kemasyarakatan, militer, politik, dakwah, ekonomi, dan
sumber pendapatan negara ketika fase Madinah?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui keadaan dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika fase Makkah
2.
Untuk mengetahui pembentukan sistem sosial kemasyarakatan, militer, politik, dakwah, ekonomi, dan
sumber pendapatan negara ketika fase Madinah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Singkat Nabi Muhammad Saw.
Nabi Muhammad Saw. Adalah anggota Bani Hasyim, suatu kabilah yang
kurang berkuasa dalam suku quraisy. Kabilah ini memegang jabatan siqayah. Nabi
Muhammad lahir dari keluarga terhormat yang relatif miskin. Ayahnya bernama
Abdullah anak Abdul Muthallib, seorang kepala suku quraisy yang besar
pengarunhya. Ibunya adalah Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Tahun kelahiran
Nabi dikenal dengan nama tahun gajah (570 M). Dinamakah demikian karena pada
tahun itu pasukan Abrahah, gubernur kerajaan Habsyi (Etiopia), dengan
menunggang gajah menyerbu Makkah untuk menghancurkan Ka’bah (Yatim. 2008: 16).
B.
Masa
Kerasulan
Menjelang usianya yang keempat puluh, dia sudah terlalu biasa
memisahkan diri dari kegalauan masyarakat, berkontlampasi ke gua Hira, beberapa
kilometer di Utara Makkah. Disana mula-mula berjam-jam kemudian berhari-hari
bertafakkur. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M, Malaikat Jibril Muncul
dihadapannya, menyampaikan wahyu Allah yang pertama: Bacalah dengan nama
Tuhanmu yang telah mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmu itu Maha Mulia. Dia telah mengajar dengan Qalam. (QS. 96:
1-5). Dengan turunya wahyu pertama itu, berarti Muhammad telah dipilih Tuhan
sebagai Nabi. Dalam wahyu pertama ini, dia belum diperintahkan untuk menyeri
manusia kepada suatu agama.
Setelah wahyu pertama itu datang, Jibril tidak muncul lagi untuk
beberapa lama, sementara Nabi Muhammad menantikannya dan selalu datang ke gua
Hira’. Dalam keadaan menanti itulah turun wahyu yag membawa perintah kepadanya.
Wahyu itu berbunyi sebagai berikut: “Hai orang-orang yang berselimut, bangun,
dan beri ingatlah. Hendaklah engkau besarkan Tuhanmu dan bersihkanlah
pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa, dan janganlah engkau memberi (dengan
maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak dan untuk (memenuhi perintah)
Tuhanmu bersabarlah (Al Mudatssir: 1-7).
1.
Fase Makkah
Dengan turunnya surat Al Mudatssir ayat 1-7 mulailah Rasulullah
berdakwah. Pertama-tama, beliau melakukannya secara diam-diam di lingkungan
sendiri dan di kalangan rekan-rekannya. Karena itulah, orang yang pertama kali
menerima dakwahnya adalah keluarga dan sahabat
dekatnya. Mula-mula istrinya sendiri, Khadijah, kemudian saudara
sepupunya Ali bin Abi Thalib yang baru berumur sepuluh tahun. Kemudian, Abu Bakar,
sahabat karibnya sejak kanak-kanak. Lalu Zaid, bekas budak yang telah menjadi
anak angkatnya. Ummu Aiman, pengasuh Nabi sejak ibunya Aminah masih hidup, juga
termasuk orang yang pertama masuk Islam. Sebagai seorang pedagang yang
berpengaruh, Abu Bakar berhasil mengislamkan beberapa teman dekatnya, seperti
Usman bin Affan, Zubair bin Awam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash,
dan Thalhah bin Ubaidillah. Mereka dibawa Abu Bakar langsung kepada Nabi dan
masuk Islam dihadapan Nabi sendiri. Dengan dakwah
secara diam-diam ini, belasan orang telah memeluk agama Islam.
Setelah beberapa lama dakwah tersebut dilaksanakan secara
individual turunlah perintah agar nabi menjalankan dakwah secara terbuka.
Mula-mula ia mengundang dan menyeru kerabat karibnya dari Bani Abdul Muthalib.
Ia mengatakan kepada mereka, “Saya tidak melihat seorang pun di kalangan Arab
yang dapat membawa sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari apa yang
saya bawa kepada kalian. Tuhan memerintahkan saya mengajak kalian semua. Siapakah
diantara kalian yang mau mendukung saya dalam hal ini?”. Mereka semua menolak
kecuali Ali.
Langkah dakwah seterusnya yag diambil Muhammad adalah menyeru
masyarakat umum. Nabi mulai menyeru segenap masyarakat kepada Islam dengan
terang-terangan, baik golongan bangsawan maupun hamba sahaya. Mula-mula Ia
menyeru penduduk Makkah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Disamping itu,
ia juga menyeru orang-orang yang datang ke Makkah, dari berbagai negeri untuk
mengerjakan haji. Kegiatan dakwah dijalankan tanpa mengenal lelah. Dengan
usahanya yang gigih, hasil yang diharapkan mulai terlihat. Jumlah pengikut Nabi
yang tadinya hanya belasan orang, makin hari makin bertambah. Mereka terutama
terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja dan orang-orang yang tak punya.
Meskipun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang lemah, namun semangat mereka
sungguh membaja.
Setelah dakwah terang-terangan itu, pemimpin quraisy muali berusaha
menghalangi dakwah Rasul. Semakin bertambahnya pengikut Nabi, semakin keras
tantangan dilancarkan kaum Quraisy. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang
mendorong orang Quraisy menentang seruan Islam itu.
1.
Mereka
tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa
tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul
Muthallib. Yang terakhir ini sangat tidak mereka inginkan.
2.
Nabi
Muhammad menyerukan persamaan antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini tidak
disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy.
3.
Para
pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan
pembalasan di akhirat.
4.
Taklid
kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa Arab.
5.
Pemahat
dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.
Banyak cara yang ditempuh para pemimpin Quraisy untuk mencegah
dakwah Nabi Muhammad. Pertama-tama mereka mengira bahwa, kekuatan Nabi terletak
pada perlindungan dan pembelaan Abu Thalib yang amat disegani itu karena itu
mereka menyusun siasat bagaimana melepas hubungan Nabi dengan Abu Thalib dan
mengancam dengan mengatakan: “Kami minta anda memilih satu di antara dua:
memerintahkan Muhammad berhenti dari dakwahnya atau anda menyerahkannya kepada
kami. Dengan demikian, anda akan terhindar dari kesulitan yang tidak
diinginkan.” Tampaknya, Abu Thalib cukup terpengaruh dengan ancaman tersebut,
sehingga ia mengharapkan Muhammad menghentikan dakwahnya. Namun, Nabi menolak
dengan mengatakan: ”Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat
Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara akan mengucilkan
saya”. Abu Thalib sangat terharu mendengar jawaban kemenakannya itu kemudian
berkata: “Teruskanlah demi Allah aku akan terus membelamu”.
Merasa gagal dengan cara ini kaum Quraisy kemudian mengutus Walid
ibn Mughirah dengan membawa Umarah ibn Walid, seseorang pemuda yang gagah dan
tampan untuk dipertukarkan dengan Nabi Muhammad. Walib ibn Mughirah berkata
kepada Abu Thalib: “Ambillah dia menjadi anak saudara tetapi serahkan Muhammad
kepada kami untuk kami bunuh”. Usul ini langsung ditolak keras oleh Abu Thalib.
Untuk kali berikutnya, mereka langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka
mengutus Utbah ibn Rabiah, seorang ahli retorika, untuk membujuk Nabi. Mereka
menawarkan tahta, wanita, dan harta asal Nabi Muhammad bersedia menghentikan
dakwahnya. Semua tawaran itu ditolak Muhammad dengan mengatakan: “Demi Allah,
biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan
kiriku, aku tidak akan berhenti melakukan ini, hingga agama ini menang atau aku
binasa karenanya.”
Dengan cara bujukan tidak bisa, orang Quraisy menggunakan cara
kekerasan dengan cara menganiaya orang muslim yang lemah terutama dari kalangan
hamba sahaya seperti Bilal bin Rabbah. Para pemimpin Quraisy juga mengharuskan
setiap keluarga untuk menyiksa anggota keluarganya yang masuk Islam sampai dia
murtad kembali. Inilah cara-cara kekerasan yang dilakukan demi menghalang
dakwah Nabi.
Menguatnya posisi umat Islam memperkeras reaksi kaum Musyrik
Quraisy mereka menempuh cara baru dengan melumpuhkan kekuatan Muhammad yang
bersandar pada perlindugan Bani Hasyim. Dengan demikian, untuk melumpuhkan kaum
muslimin yang dipimpin oleh Muhammad mereka harus melumpuhkan Bani Hasyim
terlebih dahulu secara keseluruhan. Cara yang ditempuh ialah pemboikotan.mereka
memutuskan segala bentuk hubungan dengan suku ini. Tidak seorang penduduk
Makkah pun diperkenakan hubungan jual beli dengan Bani Hasyim. Persetujuan
dibuat dalam bentuk piagam dan ditanda tangani bersama dan disimpan didalam
Ka’bah. Akibat boikot tersebut, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan,
dan kesengsaraan yang tak ada bandingannya. Untuk meringankan penderitaan itu,
Bani Hasyim akhirnya pindah kesuatu lembah diluar kota Makkah. Tindakan
pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian ini berlangsung selama 3
tahun. Ini merupakan tindakan paling menyiksa dan melemahkan umat Islam.
Pemboikotan ini baru berhenti setelah beberapa pemimpin Quraisy
menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sungguh suatu tindakan yang keterlaluan.
Setelah boikot dihentikan, Bani Hasyim seakan dapat bernafas kembali dan pulang
kerumah masing-masing.
2.
Fase Madinah
a.
Pembentukan Sistem Sosial Kemasyarakatan
Setelah tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), nabi resmi
menjadi pemimpin penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai.
Berbeda dengan periode Makkah, pada periode Madinah, Islam, merupakan kekuatan
politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun
di Madinah. Nabi Muhammad mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama,
tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri nabi terkumpul
dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebaga
rasul secara otomatis merupakan kepala negara.
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara
baru itu, ia segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Dasar pertama,
pembangunan masjid, selain untuk tempat salat, juga sebagai sarana penting
untuk mempersatukan kaum Muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di samping
sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Masjid
pada masa nabi bahkan juga berfungsi sebagai pusat pemirintahan.
Dasar kedua, adalah ukhuwah islamiyyah,
persaudaraan sesama Muslim. Nabi mempersaudarakan antara golongan Muhajirin,
orang-orang yang hijrah dari Makkah ke Madinah , dan Anshar, penduduk madinah
yang sudah masuk Islam dan ikut membantu kaum Muhajirin tersebut. Dengan
demikian diharapkan, diharapkan, setiap Muslim merasa terikat dalam suatu
persaudaraan dan kekeluargaan. Apa yang dilakukan Rasulullah ini berarti
menciptakan suatu bentuk persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan berdasarkan
agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.
Dasar ketiga, hubungan persahabatan dengan
pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, disamping orang-orang Arab
Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih
menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat
diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Sebuah
piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu
komunitas dikeluarkan. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam
bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin dan seluruh anggota masyarakat
berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar. Dalam
perjanjian itu jelas disebutkan bahwa Rasulullah menjadi kepala pemerintahan
karena sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak
diberikan kepada beliau. Dalam bidang sosial, dia juga meletakkan dasar
persamaan antar sesama manusia. Perjanjian ini, dalam pandangan ketatanegaraan
sekarang sering disebut dengan Konstitusi Madinah.
b.
Bidang Militer
Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam makin
bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Makkah
dan musuh-musuh Islam lainnya menjadi risau. Kerisauan ini akan mendorong
orang-orang Quraisy berbuat apa saja. Untuk mengahadapi kemungkinan-kemungkinan
gangguan dari musuh, nabi, sebagai kepala pemirintahan, mengatur siasat dan
membentuk pasukan tentara. Umat Islam diizinkan berperang dengan dua
alasan:
1.
Untuk
mempertahankan diri dan melindungi hak miliknya.
2.
Menjaga keselamatan
dalam menyebarkan kepercayaan dan mempertahankannya
dari orang-orang yang menghalanginya.
Dalam sejarah negara Madinah ini memang banyak
terjadi peperangan sebagai upaya kaum Muslimin mempertahankan diri dari
serangan musuh. Nabi sendiri, diawal pemerintahannya, mengadakan beberapa
ekspedisi keluar kota sebagai aksi siaga melatih kemampuan calon pasukan yang
memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara yang baru
dibentuk. Perjanjian damai dengan berbagai kabilah disekitar Madinah juga diadakan
denga maksud memperkuat kedudukan Madinah.
Peperangan-peperangan yang terjadi pada masa Nabi Muhammad:
1.
Perang
Badar, perang antara kaum Muslimin dengan kaum Quraisy yang terjadi pada
tanggal 8 Ramadhan tahun ke-2 Hijriah. Nabi
bersama 305 orang Muslim melawan pasukan Quraisy yang berjumlah sekitar
900-1000 orang.
2.
Perang
dengan suku Yahudi Madinah, dan Qainuqa yang berkomplot dengan orang-orang
Makkah orang-orang Yahudi ini akhirnya memilih meninggalkan Madinah dan pergi
menuju Adhri’at di perbatasan Syiria.
3.
Perang
Uhud, yamg terjadi pada tahu ke-3 Hijriah pasukan Quraisy Makkah membawa tidak
kurang dari 3000 pasukan berkendaraan unta, 200 pasukan berkuda dibawah
pemimpinan Khalid bin Walid, 700 orang diantara mereka memakai baju besi
melawan sekitar 1000 orang Muslim.
4.
Perang
Ahzab atau Perang Khandag (parit), yang terjadi pada tahun ke-5 Hijriah.
c. Bidang Politik
Hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah menuju
ke Madinah merupakan babak baru dalam rangka menyeru manusia kepada ajaran
Islam. Di Madinah di samping orang-orang Arab Islam, juga terdapat golongan
masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang
mereka (Yatim. 2004: 26). Setelah tiba di Madinah, Nabi langsung menjalin
hubungan kerjasama dan perdamaian dengan pihak Yahudi yang bermukim di Madinah,
yaitu Bani Nadhir dan Bani Quraidhah. Hal ini dilakukan untuk menjaga
stabilitas keamanan di Madinah. Maka untuk merealisasikan rencana ini,
diadakanlah suatu perjanjian di antara kaum muslimin dan kaum Yahudi yang isinya,
1. Melindung kebebasan beragama untuk masing-masing pihak;
2. Kedua golongan saling membantu dengan materi sewaktu diperlukan;
3. Menjaga keamanan kota Madinah apabila mendapat serangan dari luar.
Perjanjian inilah yang kemudian dikenal
dengan nama Piagam Madinah yang menjadi dasar toleransi kerukunan umat
beragama, Islam dan Yahudi, meskipun nantinya kaum Yahudi mengingkari isi
perjanjian tersebut. Dari piagam Madinah ini kita bisa mengambil pelajaran
bahwasanya, penting sekali terwujudnya toleransi keberagamaan untuk menjaga
stabilitas bangsa dan negara asalkan tidak mengusik akidah masing-masing.
Selain mengadakan perjanjian dengan pihak
Yahudi, Nabi Muhammad juga mengadakan hubungan diplomatik dengan suku-suku lain
sebagai indikasi adanya hubungan politik pada masa itu tepatnya setelah
penaklukan kota Makkah dan peperangan Tabuk, seperti yang ditulis oleh Ibnu
Ishaq:
Sesudah kota Makkah ditaklukkan, peperangan Tabuk telah selesai dan
Tsaqif pun
telah masuk Islam dan telah mengucapkan sumpah setia kepada nabi, maka
berdatanganlah delegasi bangsa Arab dari segenap penjuru menghadap Nabi. Oleh karena itu tahun sembilah hijriyah
disebut “Amul Wufud” (tahun delegasi).
Para pembahas sejarah yang memperhatikan akan melihat suatu hal
yang amat mengherankan, yaitu: orang yang tadinya harus mendatang
kabilah-kabilah Arab, untuk mengharapkan dukungan mereka dalam menyiarkan agama
Islam, dalam masa sepuluh tahun saja, sudah dapat duduk bersila di rumahnya,
untuk menyambut dan menerima kedatangan delegas0delegasi yang berdatangan dari
segenap penjuru… Agama Islam yang tadinya hanya tersiar pada tempat-tempat
terbatas, dan pemeluknya hanya bebrapa orang saja, sekarang telah menjadi agama
yang dianut penduduk seluruh jazirah Arab (Syalabi. 1997: 216).
d. Bidang Dakwah
Setelah keadaan politik dianggap stabil, pertempuaran demi pertempuran telah diselesaikan, dan kota Makkah sudah dikuasai oleh umat Islam, maka
pada tahun ke-10 H Nabi Muhammad mengutus beberapa sahabat seperti Ali bin Abi
Thalib, Muadz bin Jabal, dan Abu Musa Al Asy’ari untuk berdakwah ke beberapa
wilayah di antaranya Yaman, Mesir, Syiria, dan lainnya supaya ajaran Islam
membumi di wilayah-wilayah tersebut. Misalnya Ali bin Abi Thalib diutus ke kabilah
Mizhaj di Yaman. Sebelum ke Yaman, Nabi pun berpesan kepada Ali, “Pergilah
sampai kamu tiba di wilayah tersebut (Yaman), ajaklah penduduknya untuk
mengucapkan La illaha illallah, jika mereka mengatakan, “ya”, maka
perintahkanlah mereka untuk mengerjakan shalat, jangan dibebani yang lainnya.
Dan janganlah kamu memerangi mereka sampai mereka memerangimu.
Setelah Ali sampai ke wilayah Yaman tersebut, maka dia pun menyeru
mereka untuk masuk Islam, tetapi mereka menolak dan melempari kaum muslimin
dengan kotoran unta. Setelah diperlakukan seperti itu, Ali tidak langsung
memerangi tetapi menemui mereka kembali dan mengajak supaya masuk Islam.
Akhirnya mereka pun mau masuk Islam dan berkata, “Kami tergantung orang yang
dibelakang kami (kaum Kami) dan ini sedekah kami, ambillah darinya hak Allah”.
Ali pun mengambilnya dan kembali kepada Rasulullah dan bertemu di Makkah ketika
haji wada’ (Abdul Jabar. Tt: 83).
e.
Sistem Ekonomi
Seperti di Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan
kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi. Oleh karena itu,
peletakan dasar-dasar sistem keuangan negara yang di lakukan oleh Rasulallah
Saw. merupakan langkah yang sangat signifikan, sekaligus berlian dan
spektakuler pada masa itu, sehingga Islam sebagai sebuah agama dan negara dapat
berkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Sistem ekonomi yag di terapkan oleh Rasulallah Saw.berakar dari
prinsip-prinsip Qur’ani. Al Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam
telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia
dalam aktivitas di setiap aspek kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi.
Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasan tertinggi hanya
milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi,
Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan menjadi kehidupan ruhiyah dan jasmaniyah, melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan, bahkan setelah kehidupan dunia ini. Dengan kata lain, Islam tidak mengenal kehidupan yang hanya memikirkan materi duniawi tanpa memikirkan kehidupan akhirat.
Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan menjadi kehidupan ruhiyah dan jasmaniyah, melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan, bahkan setelah kehidupan dunia ini. Dengan kata lain, Islam tidak mengenal kehidupan yang hanya memikirkan materi duniawi tanpa memikirkan kehidupan akhirat.
f. Sumber Pendapatan Negara
1. Uang tebusan untuk para tawanan perang (hanya khusus pada perang
Badar, pada
perang lain tidak disebutkan jumlah uang tebusan tawanan perang).
2. Pinjaman-pinjaman (setelah penaklukan kota Mekkah) untuk pembayaran
uang pembebasan kaum muslimin dari Judhayma/ sebelum pertemuan Hawazin 30.000
dirham (20.000 dirham menurut Bukhari) dari Abdullah bin Rabia dan pinjaman
beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sufyan bin Umaiyah (sampai
waktu itu tidak ada perubahan).
3. Khums atas rikaz harta karun temuan pada periode sebelum islam.
4. Amwal fadillah yaitu harta yang berasal dari harta benda kaum
muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang
muslim yang meninggalkan negrinya.
5. Wakaf yaitu harta benda yang didedikasikan oleh seorang muslim
untuk kepentingan agama Allah dan pendapatnya akan disimpan di Baitul mal.
6. Nawaib yaitu pajak khusus yang dibebankan kepada kaum muslimin yang
kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat.
7. Zakat Fitrah
8. Bentuk lain sedekah seperti hewan qurban dan kifarat. Kifarat
adalah denda atas kesalahan yang dilakukan oleh seorang muslim pada saat
melakukan ibadah.
9. Ushr
10. Jizyah yaitu pajak yang dibebankan kepada orang non muslim.
11. Kharaj yaitu pajak tanah yang dipungut dari kaum non muslim ketika
wilayah khaibar ditaklukan.
12. Ghanimah yaitu harta rampasan perang.
13. Fa’i
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwasanya masa nabi Muhammad SAW terbagi menjadi dua fase (periode)
yaitu fase Makkah dan Madinah. Pada fase Makkah lebih ditekankan hanya pada
bidang dakwah, karena ini adalah masa-masa awal kelahiran agama Islam. Dakwah
yang dilakukan oleh Nabi pada fase ini terbagi menjadi dua yaitu secara
sembunyi-sembunyi dan secara terang-terangan.
Pada fase Madinah ada beberapa bidang yang
dikembangkan sebagai wujud dari upaya Nabi untuk membentuk negara Islam di
antaranya yaitu pembentukan sistem sosial kemasyarakatan, militer, politik,
dakwah, ekonomi, dan sumber pendapatan negara. Pada fase ini Islam menjadi
agama yang dipeluk oleh seluruh jazirah Arab, sebagai tanda keberhasilan dakwah
Nabi Muhammad.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Jabar, Umar. Khulasah Nur Al Yaqin.
Surabaya: Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Awladuh. Tt.
Supriyadi, Dedi.
Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2008
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam
1. Jakarta: Al Husna Zikra. 1997.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004.